METODE DALAM MEMAHAMI TERHADAP TA’ARUDH ADILLAH

A.    Pendahuluan
Al-Quran dan al-sunnah merupakan sumber utama umat Islam, petunjuk dalam kehidupan sehari-hari. Semua dalil selain kedua nash tersebut harus mengacu kepadanya, atau memakai kaedah umum yang ditetapkan berdasarkan nash. Maka seharusnya tidak ada pertentangan selama dasar dan pemahaman dalil-dalil tersebut serta menggali hukumnya dilakukan dengan benar. Benarkah di dalam sumber hukum Islam, terutama dua sumber utama tersebut, terdapat pertentangan (taarudh)?
Dengan membaca serta men-tadabbur-i beberapa penggalan ayat di bawah berikut ini kita bisa memahami betul bahwa segala yang disebutkan dalam Al Qur’an merupakan sesuatu yang mutlak kebenarannya, dan segala yang keluar dari ucapan Rasul Muhammad saw. bukan dorongan kepentingan dan hawa nafsu, akan tetapi murni  wahyu dari Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an surat An Najm: 3-4 dan surat al-A’raf: 52
          
           
Berangkat dari ayat diatas wajib melakukan pembahasan dalam rangka menaggapi nash-nash yang sekilas tampak terjadi ta’arudh secara kasat mata. Pembahasan dalam konteks ini berfungsi sebagai solusi guna mengkompromikan antara dua nash yang tampak ta’arudh tersebut, dan hal inipun melewati beberapa proses dimulai dari al-jam’u, dengan al-tarjih, yang kemudian naskh. Dalam makalah ini akan sedikit dibahas mengenai fenomena ta’arudh dalam nushus al-syari’ah, terutama yang bersinggungan dengan hadis, berdasarkan rumusan para ulama.

A.    Pengertian Taarudh Adillah
Secara etimologi, ta’arudh terbentuk dari kata dasar ‘aradha yang berarti menghalangi, mencegah, atau membandingi. Adapun kata i’tirada berarti mencegah atau menghalangi. Sehingga ta’arud berarti saling mencegah, saling menentang atau saling menghalangi. Sementara kata adillah adalah bentuk jamak dari dalil, yang berarti argument, alasan, dan dalil.[1]
Secara terminologi ta’arud menurut al-Asnawi: “Berbandingnya dua hal (perkara), dimana masing-masing pernyataannya saling bertentangan.”
Wahbah az-Zuhaili, mendefenisikan ta’arud sebagai salah satu dari dua dalil yang menghendaki hukum yang berbeda dari hukum yang dikehendaki dalil lain”.
Definisi lainnya diantaranya dikemukakan oleh Amir Syarifudin menakrifkan ta’arudh dengan berlawanannya dua dalil hukum yang salah satu diantara dua dalil itu meniadakan hukum yang ditunjuk oleh dalil lainnya. Abdul Wahab Khalaf mendifinisikan ta’arudh secara singkat, yaitu kontradiksi antara dua nash atau dalil yang sama kekuatannya.[2]
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ta’arudu al-adillah adalah dua dalil (atau lebih) yang secara lahiriah tampak bertentangan (karena saling mencegah) dalam pernyataannya.

B.    Hakikat dan Syarat Ta’arudh Adillah
Ulama ahli ushul, seperti Abdul Wahab Khalaf, Wahbah Zuhaili dan Muhammad Abu Zahrah menyatakan bahwa pada hakikatnya tidak ada pertentangan dalam kalam Allah swt. dan Rasul-Nya saw. Oleh sebab itu, adanya anggapan ta’arud antara dua atau beberapa dalil, hanyalah dalam pandangan mujtahid, bukan pada hakekatnya atau dengan kata lain hanya sebatas dhahiri atau lahiriyah saja yang terlintas di pikiran manusia. Abu Zahrah menambahkan, selain faktor lahiriyahnya, terjadinya taarudh ini terjadi karena kesulitan mengkompromikan dua dalil, atau kesalahan anggapan terhadap satu dalil yang sebetulnya bukan dalil.
Keberadaan ta’arud pada hakekatnya tidak mungkin nyata dalam hukum syariat karena hal itu akan menyebabkan tanaqudh (saling merusak), dan tanaqudh itu sendiri adalah muhal bagi syar’i, karena itu merupakan tanda kelemahan. Selain itu, hanya ada satu Syari’ Yang Maha Bijaksana sehingga tidak memungkinkan ada hukum yang ditetapkan-Nya bertentangan mengenai perkara yang sama dalam suatu waktu.[3]
Syarat-syarat ta’arudh al-adillah, seperti yang dijelaskan oleh Dr. Muhammad Wafaa sebagai berikut:
1.    Hukum yang ditetapkan oleh kedua dalil tersebut saling berlawanan, seperti halal dan haram, wajib dengan tidak wajib, menetapkan dengan meniadakan. Karena bila tidak saling berlawanan, maka tidak ada pertentangan.
2.    Obyek (tempat) kedua hukum yang saling bertentangan tersebut sama. Apabila obyeknya berbeda, maka tidak ada pertentangan. Seperti mengenai akad nikah. Nikah menyebabkan boleh (halal)-nya menggauli istri dan melarang (haram) menggauli ibu si istri. Dalam hal ini tidak ada pertentangan antar dua hukum yang saling berlawanan. Karena orang yang menerima hukum halal dan haram berbeda.
3.    Masa atau waktu berlakunya hukum saling bertentangan tersebut sama. Karena mungkin saja terdapat dua ketentuan hukum yang saling bertentangan dalam obyek yang sama, namun masa atau waktunya berbeda. Seperti, khamr dihalalkan pada masa permulaan Islam, namun kemudian diharamkan. Begitu juga dihalalkannya menggauli istri sebelum dan sesudah masa menstruasi (haid) dan diharamkan menggaulinya pada masa menstruasi.
4.    Hubungan kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama. Karena mungkin saja dua hukum yang saling bertentangan tersebut sama dalam obyek dan masa, namun hubungannya berbeda. Seperti halalnya menggauli istri bagi suami dan haramnya menggauli istri tersebut bagi laki-laki lain selain suaminya.
5.    Kedudukan (tingkatan) kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama, baik dari segi asalnya maupun petunjuk dalilnya. Pengertian taarudh adillah secara singkat oleh Abdul Wahab Khalaf di atas seakan menunjukkan bahwa syarat -taarudh adalah tingkatan kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama, baik dari segi asalnya maupun petunjuk dalilnya. Tidak ada pertentangan antara al-Qur’an dengan hadis ahad, karena dari segi asal (tsubut)-nya al-Qur’an adalah qath’i sedang hadith ahad dzanni. Begitu juga, tidak ada pertentangan antara hadith mutawatir dengan hadith ahad. Hadis mutawatir harus lebih diutamakan.[4]
Oleh karenanya tidak mungkin suatu hadis shahih kandungannya bertentangan dengan hadis shahih lain, apalagi dengan ayat al-Quran yang muhkamat, yang berisi keterangan-keterangan yang jelas dan pasti. Dengan demikian, menurut Yusuf Qardhawi, menjadi kewajiban setiap muslim untuk men-tawaqquf-kan hadis yang dilihatnya bertentangan dengan ayat al-Quran yang muhkam, selama tidak ada penafsiran yang dapat diterima.[5] 
Sebelum mengkaji matan hadis yang tampak bertentangan ini, yang perlu diperhatikan adalah memperhatikan masing-masing matan dengan prinsip kritik matan yang dipegangi oleh jumhur ulama. Jika tidak sesuai dengan kriteria kritik matannya, maka bisa dipastikan untuk menolak isi matan tersebut (mardud).[6]

C.    Metode Memahami Hadis yang Tampak Bertentangan[7]
Mula-mula sudah barang tentu hadis-hadis yang tampak bertentangan tersebut haruslah setema. Dengan demikian yang dimaksud akan semakin jelas dan satu sama lain tidak bertentangan. Sebagai langkah pertama meodenya adalah jam’u, lalu dilakukan tarjih, baru kemudian dengan naskh. Jika masih belum menemukan solusi, maka dilakukan tawaqquf.
1.    Jam’u atau Kompromi[8]  terhadap Hadis-Hadis yang Kontradiktif.
Salah satu hal penting untuk sunnah dengan baik adalah menyesuaikan hadis-hadis yang tampak bertentangan serta menggabungkan antara  hadis satu dengan hadis lainnya, meletakkan masing-masing hadis sesuai dengan tempatnya sehingga menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi, tidak saling bertentangan. Abdul Wahab Khalaf menyatakan, dengan adanya kompromi dua dalil tersebut memungkinkan untuk mengamalkan kedua dalil itu dan itu lebih baik daripada hanya memfungsikan satu dalil saja.[9]
Contoh:
•    Ibnu Qutaibah mencontohkan hadis tentang keadaan Nabi saw saat buang air kecil.
Diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa beliau berkata:
مابال رسول الله صلى الله عليه وسلم قائما قط
Hadis di atas menceritakan bahwa Rasulullah saw tidak buang air kecil dalam keadaan berdiri.
Ternyata riwayat ini tidak sejalan dengan riwayat dari Hudzaifah bahwa ia melihat Rasul saw buang air kecil dengan berdiri.
Menurut Abu Muhammad, di antara kedua hadis tersebut tidak terdapat perbedaan. Ia mengatakan bahwa Rasul saw ketika berada di rumah, atau saat di suatu tempat yang mana Aisyah juga ada di sana, maka beliau tidak berdiri saat buang air kecil. Beliau buang air kecil sambil berdiri ketika tempatnya tidak memungkinkan untuk duduk/jongkok, seperti karena berlumpur atau karena alasan lain. Dan alasan itulah yang terjadi dari hadis yang diriwayatkan oleh Hudzaifah.[10]

Contoh pengkompromian dua hadis ini memperlihatkan pentingnya untuk mengetahui peristiwa yang melatarbelakangi hadis tersebut atau asbab al-wurud-nya.
•    Contoh lain yang dipaparkan oleh Ibnu Qutaibah adalah tentang wudhu Nabi saw.
Diriwayatkan dari Sufyan dari Zuhri dari Abu Salamah dari Aisyah ra:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا أراد أن ينام وهو جنب توضأ وضوءه للصلاة
Dan ada riwayat lain dari Syu’bah dari al-Hakim dari Ibrahim dari al-Aswad dari Aisyah ra
أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا أراد أن يأكل أو ينام توضأ، تعنى وهو جنب .
Lalu ada riwayat lain yang tampak bertentangan dari Sufyan dari Abu Ishaq dari al-Aswad dari Aisyah ra, bahwa ia berkata:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ينام وهوجنب من غيرأن يمس ماء
Berkata Abu Muhammad bahwa semua hadis di atas boleh diamalkan, baik itu berwudhu seperti halnya wudhu untuk shalat setelah berhubungan badan lalu tidur; maupun yang hanya sekedar membasuh tangan dan dzakarnya lalu tidur; dan juga langsung tidur tanpa menyentuh air.
Dan Nabi saw melakukan itu semua masing-masing hanya sekali untuk menunjukkan pada yang lebih utama, dan yang lain untuk menunjukkan adanya rukhshah.[11]
•    Contoh dari Shalahudin bin Ahmad al-Adhabi hadis tentang syair.[12]
Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar dari Rasulullah saw bersabda,
حدثنا عبيد الله بن موسى: أخبرنا حنظلة، عن سالم، عن ابن عمر رضي الله عنهما،عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (لأن يمتليء جوف أحدكم قيحاً خير له من أن يمتليء شعراً).
 “Apabila seseorang itu tenggorokannya dipenuhi dengan nanah maka itu lebih baik baginya daripada dia memenuhinya dengan syair.”[13]
Al-Bukhari, Muslim, dan al-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis yang semakna dari Abu Hurairah.[14]
Lafad dari Bukhari:
 حدثنا عمر بن حفص: حدثنا أبي: حدثنا الأعمش قال: سمعت أبا صالح، عن أبي هريرة رضي الله عنه قال:قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (لأن يمتليء جوف رجل قيحاً يريه خير من أن يمتليء شعراً).
Al-Tirmidzi juga meriwayatkan dari Abu Umamah dari Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya sikap malu dan kelemahan merupakan dua cabang iman, sedangkan ucapan buruk dan ungkapan syair (berbubga-bunga) merupakan dua cabang kemunafikan.”
Hadis-hadis di atas bertentangan dengan riwayat lainnya yang cukup banyak, seperti riwayat al-Tirmidzi dari Abdullah bin Mas’ud dari Rasulullah saw bersabda,”Sesungguhnya syair itu mengandung hikmah.” Dia berkata bahwa hadis ini bernilai gharib.
Al-Bukhari meriwayatkan dari bahwa Rasulullah saw bersabda,
حدثنا أبو اليمان: أخبرنا شعيب، عن الزُهري قال: أخبرني أبو بكر بن عبد الرحمن: أن مروان بن الحكم أخبره: أن عبد الرحمن بن الأسود بن عبد يغوث أخبره: أن أبي بن كعب أخبره:أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (إن من الشعر حكمة)
“Sesungguhnya syi’ir mengandung hikmah.”[15]
Al-Tirmidzi dan Abu Dawud meriwayatkan dari Aisyah yang berkata bahwa Rasulullah saw meletakkan sebuah mimbar di masjid bagi sahabat Hisan. Dia berdiri di atasnya dan menggaungkan (dengan syair) kebesaran Rasulullah saw. Rasul bersabda, “Sesungguhnya Allah menguatkan Hisan dengan Roh Suci atas apa yang ia besar-besarkan –atau yang ia agungkan – menentang musuh-musuh Rasulullah saw.” Al-Tirmidzi mengatakan nilai hadis ini hasan sahih.
Muslim juga meriwayatkan dari al-Barra’ bin Azib yang berkata aku mendengar Rasulullah saw bersabda kepada Hisan bin Tsabit, “Seranglah mereka dan Jibril bersamamu.”[16]
Begitu juga dengan riwayat dari al-Tirmidzi dan al-Nasa’i dari Anas, yang mengisahkan Rasulullah saw membiarkan Abdullah bin Rawahah bersyair.
Dan masih ada riwayat lain yang menjelaskan Rasulullah saw tidak melarang syair.
Maka sejumlah ulama berusaha mengkompromikan hadis-hadis di atas. Secara redaksional hadis dalam keduanya memang bertentangan.
Al-Adhabi mengetengahkan pertentangan yang ada dengan sebuah riwayat, “Dipenuhinya tenggorokan kalian dengan nanah itu kiranya lebih baik daripada dipenuhi dengan syair yang ia gunakan untuk memaki orang lain.” Artinya, sang perawi tidak mendengar bagian akhir hadis, sehingga riwayatnya terpotong pada bagian akhirnya.[17]
Al-Adhabi menegaskan perlunya mencermati hadis dengan sanad sahih yang tidak lengkap teksnya, maka vonis sebagai hadis tertolak didasarkan pada ketidaklengkapan itu. Tetapi kalau dalam sanad lain memang lengkap, maka penilaiannya sebagai hadis hadis sahih mempertimbangkan bagian hadis yang lengkap redaksinya.[18]
Dalam contoh tentang syair ini, al-Adhabi maupun al-Zakarsyi memperkirakan adanya lafad yang hilang pada bagian akhir matan hadis tersebut.
Dalam Shahih Muslim, disebutkan beberapa hadis yang seakan mengetengahkan kontradiksi kebolehan syair. Salah satunya yang driwayatkan dari Abu Hurairah
وحدثنا محمد بن المثنى. حدثنا محمد بن جعفر. حدثنا شعبة عن عبدالملك بن عمير، عن أبي سلمة، عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم . قال "أصدق بيت قالته الشعراء : ألا كل شيء ما خلا الله باطل"
Rasulullah saw bersabda bahwa sebaik-baiknya ucapan adalah seperti perkatan penyair, “Ingatlah setiap sesuatu yang didalamnya sepi dari Allah adalah batil.”[19]
Dr. Ubadah seperti halnya al-Ghazali, pengikut Imam Syafi’i, berpendapat bahwa untaian syair sama saja kedudukannya dengan perkataan biasa, yang baik darinya adalah baik sedangkan yang buruk darinya adalah buruk pula.[20]
Hadis di atas memperlihatkan bahwa Nabi saw tidaklah tidak melarang syair, seandainya di dalamnya terdapat pelajaran yang baik.
•    Selain contoh di atas, Al-Adhabi juga mencontohkan metode jam’u suatu riwayat yang bertentangan dengan al-Quran tentang balasan anak zina yang masuk neraka.[21]  Di dalam contoh itu terlihat pentingnya memperhatikan asbab al-wurud suatu hadis untuk menyikapi riwayat-riwayat yang tampak bertentangan. Sehingga maksud yang terdapat dari suatu teks dapat diketahui.

2.    Tarjih
Secara etimologi tarjih berarti “menguatkan”, sedangkan seacara terminologi, menurut Ulama Hanafiyah, adalah memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama (sederajat) dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri.
Menurut ulama ushul  ada berbagai macam cara pentarjihan di antaranya adalah tarjih bain al-nushus.[22]  Tarjih ini juga terbagi atas beberapa bagian:[23]
1.    Dari segi sanad
a.    Menguatkan salah satu nash dari segi sanadnya. Ulama hadis sepakat untuk mendahulukan hadis yang disepakati Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Nasa’i, Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Kemudian berturut-turut apa yang disepakati oleh Bukhari-Muslim (muttafaqun ‘alaih); yang diriwayatkan oleh Bukhari saja; yang memenuhi syarat Bukhari; yang memenuhi syarat Muslim, dan seterusnya.
b.    Menguatkan nash dengan memperhatikan jumlah rawi. Sehubungan dengan ini dikuatkan hadis yang kuantitas rawinya lebih banyak dari yang rawinya sedikit.
c.    Pentarjihan dengan melihat riwayat itu sendiri (jarh wa ta’dil). Bila kedua sanad sama-sama kuat, tetapi salah satunya diriwayatkan oleh sahabat ahli fiqh, maka menurut Abu Hanifah riwayat sahabat ahli fiqh itu didahulukan. Sedangakan menurut Imam Malik, diunggulkan hadis yang menjadi tradisi Ahli Madinah.[24]
d.    pentarjihan melalui cara menerima hadis (tahammul al-hadis) dari rasul.
2.    Dari segi matan
a.    Teks yang mengandung larangan diutamakan daripada teks yang mengandung perintah, karena menolak kemudharatan lebih baik daripada mengambil manfaat.[25]
b.    Teks yang mengandung perintah lebih didahulukan daripada teks yang mengandung kebolehan karena melaksanakan perintah sekaligus melaksanakan hukum yang boleh.
c.    Makna hakikat dari suatu lafazh lebih diutamakan daripada makna majazi. Karena lafad hakiki tidak membutuhkan qarinah (indikator) nash yang lain.
d.    Dalil khusus diutamakan daripada dalil umum.[26]
e.    Teks umum yang belum dikhususkan lebih diutamakan daripada teks umum yang telah ditakhsis.
f.    Teks  yang sifatnya perkataan lebih diutamakan daripada teks yang sifatnya perbuatan.
g.    Teks yang muhkam lebih diutamakan daripada teks yang mufassar, karena muhkam lebih pasti dibanding muffassar.
h.    Teks yang mufassar diutamakan dari al-nash, dan teks al-nash didahulukan atas teks yang masih dhahir.
i.    Teks yang muqayyad didahulukan atas teks yang muthlaq.[27]
j.    Teks yang sharih (jelas) didahulukan daripada teks  yang bersifat sendirian.
3.    Dari segi hukum atau kandungan hukum
a.    Teks yang mengandung larangan diutamakan daripada teks yang mengandung kebolehan, karena dalam hidup ini membutuhkan sikap kehati-hatian.[28]
b.    Menurut jumhur teks yang menetapkan lebih diutamakan dari teks yang meniadakan, karena teks yang bersifat menetapkan memberi informasi tambahan.[29]
c.    Apabila isi suatu teks menghindarkan terpidana dari hukuman,dan teks yang lain mewajibkan terpidana hukuman, maka yang dipilih adalah yang pertama.
d.    Teks yang mengandung hukuman lebih ringan didahulukan daripada teks yang mengandung hukuman berat.
e.    Tekas yang mengandung hukum wadh’i didahulukan atas teks yang mengandung hukum taklifi. Sebagian besar kalangan Syafi’iyyah Hanafiyyah berpendapat sebaliknya.
4.    Tarjih menggunakan faktor (dalil) lain diluar nash.
a.    Mendahulukan salah satu dalil yang didukung dalil lain,baik al-Quran, sunnah, maupun qiyas.
b.    Mendahulukan salah satu dalil yang didahulukan oleh amalan ahli Madinah, karena mereka lebih mengetahui persoalan turunnya ayat, atau yang diamalkan oleh Khulafa al-Rasyidin..
c.    Menguatkan dalil yang menyebutnya illat (motivasi) hukumnya dari suatu nash serta dalil yang mengandung asbabunnuzul atau asbabul wurud daripada dalil yang tidak menyebutkannya.
d.    Mendahulukan dalil yang di dalamnnya menuntut sikap waspada daripada dalil yang tidak menuntut demikian.
e.    Mendahulukan dalil yang diikuti dengan perkataan atau pengalaman dari perawinya daripada dalil yang tidak demikian.
f.    Mendahulukan dalil yang menjelaskan hukum yang diperselisihkan dari dalil yang tidak demikian.

•    Contoh: Seperti mendahulukan khabar dari Aisyah ra. tentang wajibnya mandi bila terjadi persetubuhan dari pada khabar Abu Hurairah yang mewajibkan mandi hanya apabila keluar mani.
•    Contoh dari Ibnu Qutaibah tentang seseorang yang kencing di dalam masjid.
Diriwayatkan dari Sufyan dari Al-Zuhri dari Sa’id bin Al-Musib dari Abu Hurairah, bahwasannya seorang A’rabi kencing di dalam masjid, maka Nabi saw bersabda:
صبوا عليه سجلا من ماء، أو قال ذنوبا من ماء
Lalu juga ada riwayat lain dari Jarir bin Hazim berkata, aku telah mendengar Abdul Malik bin Amir bercerita dari Abdullah bin Muaqqil bin Maqran, sesungguhnya Nabi saw berkata tentang kisah ini:
خذوا ما بال عليه من التراب فألقوه، وأهريقوا على مكانه ماء
Berkata Abu Muhammad, bahwa perbedaan ini terletak pada rawinya. Hadis dari Abu Hurairah lah yang lebih valid karena ia hadir dan melihat peristiwa itu. Sedangkan Abdullah bin Muaqqil bin Maqran bukanlah dari kalangan sahabat, maka perkataanya tidak bisa mencukupi dari perkataan orang yang hadir dan melihat langsung.[30]
•    Contoh dari Shalahuddin bin Ahmad al-Adhabi tentang riwayat pekerjaan sebagai tukang bekam.[31]
Muslim meriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij yang berkata, aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “sesungguhnya seburuk-buruk pekerjaan adalah maharnya pelacuran, uang harga anjing, ataupun pekerjaan sebagai tukang bekam.[32]
Dalam sebuah riwayat:
حدثنا موسى بن إسماعيل، ثنا أبان، عن يحيى، عن إبراهيم بن عبد اللّه يعني ابن قارظ عن السائب بن يزيد، عن رافع بن خديجأن رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم قال: "كسب الحجام خبيثٌ، وثمن الكلب خبيثٌ، ومهر البغيِّ خبيثٌ".
“Uang jual beli anjing itu kotor, mahar pelacuran dan pekerjaan sebagai tukang bekam pun kotor.”[33]
Al-Nasa’i meriwayatkan dari Abu Hurairah yang berkata, “Rasulullah saw melarang bekerja sebagai tukang bekam, uang harta anjing dan uang daru hewan jantan.”
Riwayat-riwayat ini merendahkan martabat praktik pembekaman dan pekerjaan sebagai tukang bekam, walaupun itu merupakan salah stu mata pencaharian yang halal. Padahal Islam mengagungkan pekerjaan, dan pembekaman merupakan salah satu jenis pengobatan medis.
Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurairah,
حدثنا موسى بن إسماعيل، ثنا حماد، عن محمد بن عمرو، عن أبي سلمة، عن أبي هريرةأن رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم قال: "إن كان في شىءٍ ممَّا تداويتم به خيرٌ فالحجامة".
Rasulullah saw bersabda, ”Apabila ada sesuatu yang kamu ingin berobat dengannya maka itu adalah bekam.[34]”  Sebagian tabi’in menanyakan permasalahn ini mengenai kemusykilan yang terjadi kepada sahabat.
Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik,
حدثنا القعنبي، عن مالك، عن حُمَيد الطويل، عن أنس بن مالك أنه قال:حجم أبو طيبة رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم فأمر له بصاع من تمر، وأمر أهله أن يخفِّفوا عنه من خراجه
Bahwa Anas bin Malik pernah ditanya tentang pembekaman. Dia menceritakan bahwa Rasulullah saw pernah berbekan kepada Abu Thayyibah. Kemudian beliau memerintahkan utuk memberi uapah sebanyak dua sha’ makanan.beliau mengajak bicara keluarga Abu Thayyibah dan mencabut kewajiban pajaknya.[35]
Kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya obat yang paling baik bagi kamu sekalian adalah berbekam.”
Artinya, berbekam adalah salah satu pengobatan paling ideal. Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa rasulullah saw berbekam dan memberi upah kepada pekerjaan bekam. Di riwayat lain disebutkan Rasulullah saw berbekam kepda seorang udak Bani Bayadhah. Beliau memberi upahnya, dan bercakap-cakap dengan majikannya. Lantas beliau meringankan beban pajak dari majikan itu. Kalau saja berbekam itu haram, nisaya beliau tidak meringankan pajak.[36]  Berikut adalah lafad dari Abu Dawud:
حدثنا مسدد، ثنا يزيد يعني ابن زريع ثنا خالد، عن عكرمة، عن ابن عباس قال:احتجم رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم، وأعطى الحجام أجره، ولو علمه خبيثاً لم يعطه.
Di sini terdapat lafad seandainya Rasulullah saw tahu bahwa itu adalah pekerjaan kotor niscaya beliau tidak memberikannya.
Riwayat-riwayat ini menetapkan mubahnya berbekam. Dalil yang memverikasi hukum tersebut adalah bahwa hadis tentang mahar pelacuran, uang harga anjing, dan pekerjaan bekam telah diriwayatkan dari sumber lain, tetapi dengan mengganti kata tukang bekam dengan uapah untuk dukun.
Muslim meriwayatkan dari Abu Mas’ud al-Anshari bahwa Rasulullah saw melarang uang harga anjing, mahar pelacuran, dan upah untuk dukun.[37]  Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurairah:
حدثنا أحمد بن صالح، ثنا ابن وهب، حدثني معروف بن سويد الجذامي، أن عليّ بن رباح اللخميَّ حدّثه، أنه سمع أبا هريرة يقول:قال رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم: "لا يحل ثمن الكلب، ولا حلوان الكاهن، ولا مهر البغيِّ".
Rasulullah saw bersabda, “Tidak halal uang harga anjing, upah dukun, dan mahar pelacuran.”[38]
Dari riwayat Abu Mas’ud dan Abu Hurairah telah jelas bahwa riwayat Rafi’ bin Khadij yang menyebutkn pekerjaan tukang bekam merupakan riwayat waham. Demikian pula riwayat Abu Hurairah. Karena dua riwayat ini menyalahi riwayat dan sabda Rasulullah saw yang lebih valid. Kemungkinan terjadinya waham pada dua riwayat di atas lebih kuat daripada riwayat tentang Rasulullah saw yang melakukan bekam.[39]

Contoh di atas tampak tarjih (penguatan) hadis atas hadis yang lain dikarenakan matan hadis yang satu terdapat waham di satu sisi, dan di sisi yang lain  riwayat yang menentangnya lebih banyak.

3.    Nasikh wa Mansukh[40]
Jika cara al-jam’u tidak memungkinkan untuk mencari solusi dalil yang bertentangan, dan begitu pula dengan tarjih dengan thuruq al-tarjih-nya, maka cara selanjutnya adalah dengan naskh.
Secara etimologi naskh berarti al-izalah (menghilangkan) dan naql (mengutip, menyalin). Sedangkan secara terminologi, menurut ulama ushul, ialah penghapusan oleh syari’ terhadap suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian.
Dalam kajian ilmu hadis, nasikh wa mansukh al-hadits adalah ilmu yang membahas hadis-hadis yang saling bertentangan yang tidak mungkin bisa dikompromikan, dengan cara menetukan sebagiannya sebagai nasikh dan sebagiannya lagi sebagai mansukh. Yang terbukti lebih dahulu sebagai mansukh dan yang terbukti datang kemudian sebagai nasikh.[41]   Maka di sini konteks historis dan asbab al-nuzul – jika dalam al-Quran – maupun asbab al-wurud – jika dalam hadis – suatu hadis juga sangat penting.  Harus diketahui dalil mana yang lebih dahulu turun.[42]
•    Ibnu Qutaibah memberikan contoh hadis tentang penulisan hadis.[43]
Diriwayatkan dari Himam dari Zaid bin Aslam dari Atha’ bin Yasar dari Abu Sa’id al-Khudhri berkata: Rasulullah saw telah bersabda:
لاتكتبوا عني شيئا سوى القرآن فمن كتب عني شيئا فليمحه
Dan ada riwayat dari Ibnu Juraih dari Atha’ dari Abdullah bin Umar berkata:
قلت: يارسول الله أقيد العلم؟ قال: نعم. قيل وماتقيده؟ قال: كتابة
Dan juga diriwayatkan dari Himad bin Salamah dari Muhammad bin ishaq dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kekeknya berkata:
قلت: يارسول الله أكتب ما أسمع منك؟ قال: نعم. قلت في الرضا والغضب؟ قال نعم، فإني لاأقول فذلك كلهإ لاالحق
Menurut Abu Muhammad, kemungkinan hadis di atas mempunyai dua makna:
1)    Bahwa itu termasuk nasikh wa mansukh dengan sunnah, seakan-akan di dalamnya pada awalnya terdapat larangan untuk menulis ucapan beliau, kemudian setelah beberapa tahun berlalu ditambah dengan banyaknya huffadz yang meninggal, maka diperbolehkan untuk menulis hadis.
2)     Hadis ini adalah khusus untuk Abdullah bin Umar, karena ia seorang qari kitab-kitab mutaqaddimah, yang menulis dengan bahasa Suryani maupun bahasa Arab. Sedangkan sahabat yang lain saat itu masih banyak yang ummi kecuali hanya beberapa, dan ketika menulis masih belum meyakinkan. Maka dikhawatirkan atas mereka akan kesalahan dalam apa yang mereka tulis sehingga Rasul saw melarang mereka menulis hadis, sedangkan Abdullah bin Umar termasuk yang dipercaya oleh Rasul sehinnga diberi izin untuk menulis hadis.
Ulama yang tidak setuju dengan nasikh dan mansukh berpendapat, kebanyakan hadis yang diasumsikan sebagai mansukh, apabila diteliti lebiih jauh, ternyata tidaklah demikian. Hal ini mengingat bahwa di antara hadis-hadis, ada yang dimaksudkan sebagai azimah (anjuran untuk melakukan sesuatu walaupun sangat berat), dan ada pula yang dimaksudkan untuk rukhshah. Dan karena itu keduanya memiliki kadar ketentuan yang berbeda, sesuai dengan kedudukannya masing-masing.
Adakalnya suatu hadis bergantung pada situasi tertentu, sementara hadis yang lain bergantung pada situasi yang lain pula. Jelas dengan perbedaan seperti itu tidak berarti adanya penghapusan atau naskh.[44]
4.    Tawaqquf / Tasaqut al-Dalalain
Bila penyelesaian dua dalil yang dipandang berbenturan itu tidak mampu diselesaikan dengan tiga cara di atas, maka ditempuh dengan cara keempat, yaitu dengan meninggalkan dua dalil tersebut. Adapun cara meninggalkan kedua dalil yang berbenturan itu ada dua bentuk, yaitu:
a.    Tawaquf (menangguhkan), menangguhkan pengamalan dalil tersebut sambil menunggu kemungkinan adanya petunjuk lain untuk mengamalkan salah satu diantara keduanya.
b.    Tasaquth (saling berguguran), meninggalkan kedua dalil tersebut dan mencari dalil yang lain untuk diamalkan.
Selain hadis itu harus sesuai dengan petunujuk al-Quran dan juga mempunyai kandungan yang setema –yang mana tingkat hadisnya juga harus sama–, dalam meneliti keabsahan antar dalil yang tampak bertentangan tersebut, Yusuf Qardhawi menganalisisnya dengan:
1.    Mempertimbangkan latar belakangnya, situasi ketika hadis itu diucapkan, serta tujuannya.
2.    Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan sasaran yang tetap.
3.    Membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan yang bersifat majaz dalam memahami hadis.[45]

D.    Penutup
Mayoritas ulama hadis maupun ulama ushul sepakat pada prinsipnya nash-nash syariat yang benar tidak mungkin bertentangan. Sebab kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran, dan juga sumber nash adalah satu, Allah SWT. Seandainya ada pertentangan, maka hal itu hanya kelihatan dari luar saja.
Untuk metode penyelesain terhadap dalil/hadis yang tampak bertentangan itu, terdapat berbagai macam perbedaan urutan langkahnya. Umumnya, seperti yang digunakan oleh jumhur ulama, adalah jam’u, tarjih, kemudian naskh. Lalu apabila langkah itu tetap tidak menghasilkan solusi, maka dalil-dalil itu di-tawaquf-kan.




DAFTAR PUSTAKA


Al-Ghazali, Syekh Muhammad. Analisis Polemik Hadis: Transformasi Modernisasi, terj. Muh. Munawir Al-Zahidi. Surabaya: Dunia Ilmu, 1997.
Al-Dainuri, Ibnu Qutaibah. Ta’wil Mukhtalif Al-Hadis. Kairo: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1982.
Syarifudin, Amir. Ushul Fiqh jilid I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Zahrah,  M. Abu. Ushul al-Fiqh. Mesir: t.p., t.th.
Khallaf,  M. Abdul Wahab. Ushul al-Fiqh. Kuwait: Dar al-Ilm, 1978.
Suryadi. Metode Kontemporer Memhami Hadis Nabi. Yogyakarta: Sukses Offset, 2008.
Al-Adhabi, Shalahudin bin Ahmad. Menalar Sabda Nabi. terj. Ita Qonita. Yogyakarta: Insan Madani, 2010.
Al-Khathib, M. Ajjaj. Ilmu Ushul A-Hadis. Terj. Qadirun Nur. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
Aplikasi Mausu’ah al-Hadits al-Nabawi: al-Syarif al-Shahhah wa al-Sunan wa al-Masanid
Al-Qardhawi, Yusuf. Memahami As-Sunnah An-Nabawiyah dengan Baik. Terj. Muhammad al-Baqir. Bandung: Karisma, 1994.
Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga. Metodologi Penelitian Hadis. Yogyakarta: TH-Press, 2009.
Syekh Muhammad Al-Ghazali, Analisis Polemik Hadis: Transformasi Modernisasi, terj. Muh. Munawir Al-Zahidi (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), 81.
Bustamin dan M. Isa H. A. Salam. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
http://ayahibu-tarjih.blogspot.com, diakses pada Senin, 19 Maret 2012.
http://www.diyya.wordpress.com/ushulfiqh/html, diakses pada Senin, 19 Maret 2012.




[1]Firdaus, Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secar Komprehensip, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), 188.
[2]Amir Syarifudin, Ushul Fiqh jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 204.
[3] M. Abu Zahrah. Ushul al-Fiqh. (Mesir: t.p., t.th.), 309. Lihat juga M. Abdul Wahab Khallaf, Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Ilm, 1978), 230.
[4]http://www.diyya.wordpress.com/ushulfiqh/html, diakses pada Senin, 19 Maret 2012.
[5]Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2008), 138.
[6]Prinsip pokok kritik matan jumhur ulama: (1) Tidak bertentangan dengan al-Quran; (2)Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir/hadis ahad yang lebih kuat; (3)Tidak bertentangan dengan pokok ajaran Islam; (4)Tidak bertentangan dengan sunnatullah; (5)Tidak bertentangan dengan fakta sejarah yang shahih; (6) Tidak bertentangan dengan indera, akal, kebenaran ilmiah atau sanagt sulit diinterpretasikan secara rasional. Lihat Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis, (Yogyakarta: TH Press, 2009), 146.
Sedangkan Bustamin menambahnya dengan: 1) sanadnya harus shahih pula; 2) susunannya menunjukkan cirri kenabian.
[7]Urutan metode ini mengikuti Syafi’i dan Maliki: (1) al-Jam’u; (2) Tarjih; (3) Naskh; seandainya tetap tidak menghasilkan solusi, maka ditempuh jalan tasaaqut al-dalalain. Dan ururtan metode inilah yang disepekati oleh jumhur ulama. Sedangkan urutan metode dari Hanafi dan Hanbali adalah kebalikan dari Syafi’i dan Maliki: (1) Naskh; (2) tarjih; (3) al-Jam’u; dan tasaaqut al-dalalain sebagai solusi terakhir. Firdaus, Ushul Fiqh, 193-201.
[8]Dalam beberapa metode, istilah jam’u ini sering disebut al-jam’u wa al-taufiq. Secara substansi, tidak ada perbedaan maksud dari jam’u dan taufiq.
[9]Abdul Wahab Khalaf, Ushul al-Fiqh, 330.
[10]Ibnu Qutaibah al-Dainuri, Ta’wil Mukhtalif Al-Hadis, (Kairo: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1982), 100.
[11]Ibnu Qutaibah al-Dainuri, Ta’wil Mukhtalif al-Hadis, 216.
[12]Shalahudin bin Ahmad al-Adhabi, Menalar Sabda Nabi, terj. Ita Qonita (Yogyakarta: Insan Madani, 2010), 328-332.
[13]Bukhari, Kitab Adab, 5802.
[14]Bukhari, Kitab Adab, 5893; Muslim, Kitab Syi’r, 2257; Muslim Kitab Syi’r, 2258; Tirmidzi 10/292.
[15]Bukhari, Kitab Adab, 5793.
[16]Sahih Muslim, 16/45 dan Sunan Abu Daud 5013 dan Sunan Al-Nasa’i 2/48.
[17]Di dalam buku terjemahan Al-Adhabi, tidak disebutkan hadis/perawi yang yang meriwayatkan redaksi hadis yang lengkap tersebut.
[18]Shalahudin bin Ahmad al-Adhabi, Menalar Sabda Nabi. 328-332.
[19]Muslim, Kitab Syi’r, 2256.
[20]Syekh Muhammad Al-Ghazali, Analisis Polemik Hadis: Transformasi Modernisasi, terj. Muh. Munawir Al-Zahidi (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), 81.
[21]Lihat: Shalahudin bin Ahmad al-Adhabi, Menalar Sabda Nabi, 318-322.
[22]Jenis tarjih yang lain adalah tarjih bain al-aqisyah. Lihat Muhammad Abu Zahrah, op. cit., 310.
[23]http://ayahibu-tarjih.blogspot.com, diakses pada Senin, 19 Maret 2012. Lihat juga Fairuz, Ushul Fiqh,227-335.
[24] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, 311.
[25]Menurut al-Razi, digugurkan kedua ini karena keduanya memiliki kualitas yang sama.
[26]Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh 310.
[27]Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahwa menggunakan dalil yang khash dan juga yang muqayyad adalah termasuk cara dari al-jam’u. Abdul Wahab Khalaf, Ushul al-Fiqh, 231.
[28]Pendapat jumhur ulama ini tidak sama dengan Al-Ghazali, yang berpendapat bahwa yang mubah didahulukan atas yang haram. Lihat Fairuz, Usul Fiqh, 229.
[29]Menurut Syafi’iyyah, teks yang meniadakan didahulukan atas yang menetapkan karena ini yang lebih meyakinkan. Fairuz, Ushul Fiqh, 230.
[30]Ibnu Qutaibah al-Dainuri, Ta’wil Mukhtalif al-Hadis, 216-217.
[31]Shalahudin bin Ahmad al-Adhabi, Menalar Sabda Nabi, terj. Ita Qonita (Yogyakarta: Insan Madani, 2010), 344-346.
[32]Muslim 10/232
[33]Abu Dawud, Kitab Ijarah, 3421
[34]Abu Dawud, kitab Al-Thibb, 3857
[35]Muslim 10/242; Abu Dawud, Kitab Ijarah, 3424.
[36]Sahih Muslim 10/242-243; Abu Dawud, Kitab Ijarah, 3423; Ibnu Majah, 2162-2163.
[37]Sahih Muslim 10/231; Sunan Abu Dawud, 3428; Ibnu Majah 2159.
[38]Abu Dawud, Kitab Ijarah, 3484.
[39]Shalahudin bin Ahmad al-Adhabi, Menalar Sabda Nabi. 344-346.
[40]Bentuk-bentuk naskh ada tiga: (1) Naskh tilawah dan hukum sekaligu; (2) naskh tilawah tetapi hukumnya tetap; (3) Naskh Hukum tetapi tilawahnya tetap. Naskh inilah yang dimaksud dalam pembahasan yang berkaitan tentang nash. Fairuz, Ushul Fiqh, 217-219.
[41]M. Ajjaj Al-Khathib. Ilmu Ushul A-Hadis. Terj. Qadirun Nur (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), 250.
[42]Abdul Wahab Khalaf, Ushul al-Hadis, 232.
[43]Ibnu Qutaibah, Ta’wil Mukhtalif al-Hadis, 250.
[44]Yusuf Qardhawi, Memahami As-Sunnah An-Nabawiyah dengan Baik, terj. Muhammad al-Baqir (Bandung: Karisma, 1994), 129.
[45]Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 90.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment